MANUSIA
SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN
Disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah FILSAFAT
Disusun:
ELVA RIWAN
JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
……………………………………………………………… i
Daftar
isi…………………………………………………………………….. ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang…………………………………………………………... 1
1.2 Tujuan…………………………………………………………………… 2
1.3 Rumusan
masalah……………………………………………………….. 2
BAB II
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN
2.1. Keharusan manusia menjadi
manusia dewasa…………………………………….. 3
2.2. Eksistensi dan perkembangan
manusia bersifat terbuka……………………… 4
2.3.
Manusia sebagai makhluk yang perlu bantuan……………………………………. 6
2.4.
Manusia belum selesai mengadakan diri sendiri…………………………………. 7
2.5.
Manusia adalah Animal educandum……………………………………………………. 9
2.6.
Empat prinsip Antropologis…………………………………………………………………. 9
2.7.
Manusia adalah animal educabile………………………………………………………. 9
2.8.
Lima prinsip antropologis…………………………………………………………………… 10
2.9.
Batas – batas pendidikan……………………………………………………………………. 12
2.10.
Aliran teori anak didik………………………………………………………………………. 14
BAB
III
KESIMPULAN…………………………………………………………….
17
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………… iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia
merupakan ciptaan Allah SWT. Yang paling istimewa bila dilihat dari sosok diri,
serta beban dan tanggung jawab yang diamanatkan. Sifat kodrati manusia sebagai makhluk pribadi, sosial,
susila dan religi harus dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi. Perlu
disadari, bahwa manusia hanya mempunyai arti hidup secara layak jika ada
diantara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lain atau tanpa hidup
bermasyarakat, seseorang tidak dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik.
Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan
pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Pendidikan
merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya. "Hewan" juga belajar, tetapi lebih
ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan
rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.
Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini
sudah dewasa dan berkeluarga, mereka akan mendidik anak-anaknya. Begitu juga di
sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan
dosen.
Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan
umat adalah masalah pendidikan. Dalam al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat
bahwa permasalahan pendidikan sangat penting. Jika Al-Qur'an dikaji lebih
mendalam, maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang
selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka
membangun pendidikan yang bermutu. Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah
ini penulis akan mem-bahas konsepsi Al-Qur'an tentang "Manusia Sebagai
Makhluk Pendidikan".
1.2
Tujuan
Untuk mengetahui landasan yang jelas dan kokoh berkenaan
dengan perlu dan tidak nya kita mnyelenggerakan pendidikan.
1.3
Rumusan Masalah
1. Apakah manusia harus menjadi
manusia dewasa?
2. Apakah eksistensi dan perkembangan manusia bersifat terbuka?
3. Aapakah manusia sebagai makhluk yang perlu bantuan?
4.
Apakah manusia sebagai makhluk yang perlu dididik dan
perlu
mendidik?
5.
Apakah manusia sebagai makhluk yang dapat di didik?
6.
Apa saja batas – batas pendidikan?
BAB II
MANUSIA SEBAGAI MAHLUK PENDIDIKAN
2.1.Keharusan
Manusia Untuk Menjadi Manusia Dewasa
Siapapun bisa menyangsika apa saja, tetapi kiranya kita
tidak memiliki kesangsian tentang keberadaan manusia di dunia. Namun demikian
muncul pertanyaan, apakah keberadaan manusia di dunia ini atas kehendak atau
atas pilihan manusia itu sendiri? Sebagaimana dikemukakan Martin Heidegger,
manusia itu ibaratnya “terlempar” dan
“terdampar” di dunia, tahu-tahu ia
sudah berada di dunia. Keberadaannya di dunia bukanlah atas pilihannya sendiri,
tetapi inilah realitas bahwa manusia berada di dunia. Inilah kenyataan hidup
dan takdir manusia. Dengan kata lain dapat dipahami, manusia berada di dunia
bukan atas prakarsa dan kuasanya sendiri, Tuhanlah yang telah menjadikannya dan
menurunkannya ke dunia.
Mengenai keberadaannya manusia di dunia, pada awalnya memang
bukan atas prakarsanya sendiri dan di luar kuasa manusia itu sendiri. Tetapi
bersamaan dengan itu, manusia dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa ia harus melanjutkan keberadaannya (eksistensinya).
Manusia memiliki suatu kesadaran untuk mewujudkan berbagai kemungkinan dalam
eksistensinya, ia harus meng-ada-kan
dirinya sendiri atau harus bereksistensi.
Meng-ada-kan dirinya sendiri dalam kalimat di atas bukan berarti
menciptakan sesuatu sebagaimana Tuhan mengadakan (menciptakan) sesuatu dari
ketiadaan, melainkan bahwa manusia itu harus merencanakan, berjuang atau
berbuat untuk menjadi siapa dirinya itu.
Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat dan menjadi.
Masalahnya, manusia itu bereksistensi untuk menjadi siapa? Eksistensi manusia
tiada lain adalah untuk menjadi manusia. To
be a man is to become a man, demikian Karl Jaspers menyatakannya. Itulah
tugas yang diembannya. Jadi hakikatnya, manusia harus menjadi manusia ideal (manusia yang diharapkan,
dicita-citakan, atau menjadi manusia yang seharusnya). Dari mana idealisme
(keharusan, cita-cita/harapan) itu muncul? Idealisme itu bersumber dari Tuhan
yang diketahui melalui ajaran agama yang diturunkan-Nya, bersumber dari sesame
dan budayanya, bahkan dari diri manusia itu sendiri. Adapun manusia ideal yang
dimaksud adalah manusia yang telah mampu mewujudkan berbagai potensinya secara
optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,
cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai
kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian,
bermasyarakat dan berbudaya.
2.2.Eksistensi
dan Perkembanagan Manusia bersifat Terbuka
Eksistensi Manusia bersifat Terbuka. Setelah kelahirannya, dalam
rangka-melanjtukan-eksistensinya, manusia selalu dihadapkan kepada keharusan
untuk menentukan pilihan menjadi ini atau menjadi itu. Manusia memiliki kebebasan menentukan pilihan untuk
menjadi siapa dia nantinya. Bersamaan dengan kebebasannya tersebut, manusia pun
dituntut harus bertanggung jawab atas
pilihan yang diambilnya. Berkenaan dengan ini dapatlah dimaklumi, bahwa manusia
bersifat terbuka, artinya bahwa dalam
eksistennya manusia adalah makhluk yang
belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Ia harus merencanakan dan terus
menerus berupaya “mewujudkan” apa yang telah direncanakannya itu, untuk menjadi
seseorang pribadi tertentu sesuai pilihannya (bereksistensi).
Perkembangan Manusia bersifat Terbuka.
Untuk memahami sesuatu kita
perlu melakukan perbandingan, demikian pula untuk memahami sifat perkembangan
manusia. Bolk telah mengemukakan teori retardasi (teori perlambatan dan
perkembangan) sebagai hasil perbandingan antara perkembangan manusia dengan
perkembangan hewan. Teorinya menunjukkan bahwa perkembangan hewan bersifat terspesialisasi (tertutup), sedangkan
perkembangan manusia bersifat belum
terspesialisasi (terbuka), dengan itu, apabila dibandingkan dengan hewan.
Nietzschenmenyatakan bahwa manusia adalah binatang/hewan yang tidak ditetapkan
atau das nicht festgesestellte Tier. (C.A.
van Peursen, Tanpa Tahun).
Perkembangan hewan bersifat terspesialisasi/tertutup. Contoh: kerbau lahir sebagai anak kerbau,
selanjutnya ia hidup dan berkembang sesuai kodrat kekerbauannya
(mengkerbau/menjadi kerbau). Mustahil anak kerbau berkembang menjadi serigala.
Sebaliknya, perkembangan manusia bersifat
terbuka. Manusia memang telah dibekali berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia, misalnya: potensi untuk beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta,
rasa karsa, dsb. Namun demikian setelah kelahirannya, berbagai potensi tersebut
mungkin terwujudkan, mungkin kurang terwujudkan, atau mungkin pula tidak
terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat
kemanusiaannya (memanusia), sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang
kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya
(kurang/tidak memanusia). Contoh: Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan
fenomena perilaku orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhannya,
orang-orang yang berprilaku sesuai dengan nilai dan norma budaya masyarakatnya,
dsb. Sebaliknya, kita pun menyaksikan fenomena orang-orang yang berperilaku
kurang/tidak sesuai dengan perilaku manusia yang seharusnya, baik menurut nilai
dan norma agama maupun budayanya. Perilaku koruptor baik tikus kantor bukan?
Contoh lain dikemukakan Anne Rollet, ia melaporkan bahwa sampai tahun 1976 para
etnolog telah mencatat 60 anak-anak buas yang hidup bersama dan dipelihara oleh
binatang. Tidak diketahui bagaimana awal kejadiannya, yang jelas telah
ditemukan bahwa diantara ke-60 anak tersebut ada yang dipelihara oleh serigala,
kijang, kera, dsb. Anak-anak tersebut berperilaku tidak sebagaimana layaknya
manusia, melainkan bertingkah laku sebagaimana binatang yang memeliharanya.
Mereka tidak berpakaian, agresif untuk menyerang dan menggigit, tidak dapat
tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak, tidak berbahasa sebagaimana bahasanya
manusia, dll. (Intisari, No.160 Tahun ke XIII, November 1976:81-86).
Demikianlah, perkembangan manusia bersifat terbuka atau
serba mungkin, mungkin menjadi manusia, mungkin kurang menjadi manusia bahkan
mungkin tidak menjadi manusia.
2.3.Manusia
sebagai Makhluk yang Perlu Bantuan
Pada saat dilahirkan, manusia berada dalam keadaan “tidak berdaya”. Ia belum bisa berdiri,
belum bisa berjalan, belum bisa mencari makanan sendiri, dsb. Pada saat ia
dilahirkan, untuk dapat mempertahankan hidupnya saja ia memiliki ketergantungan dan betapa ia memerlukan bantuan dari ibu dan ayahnya,
atau dari orang dewasa lainnya. Demikian pula dalam rentang waktu tertentu
dalam perjalanan hidupnya lebih lanjut, banyak tantangan dan masalah yang ia
hadapi dan harus dapat ia selesaikan. Sementara itu, selain anak manusia belum
dapat memenuhi berbagai kebutuhan pangan dan sandangnya secara mandiri, ia pun
belum menguasai berbagai pengetahuan (ilmu pengetahuan) dan keterampilan yang
dibutuhkannya dalam rangka memecahkan berbagai masalah hidupnya, ia belum tahu
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang jahat, belum
tahu ke mana arah tujuan hidupnya dsb. Dengan demikian, dalam perjalanan
hidupnya itu, anak manusia masih harus belajar untuk “hidup”, adapun hal tersebut
mengimplikasikan adanya ketergantungan dan perlunya anak memperoleh bantuan
dari orang dewasa.
Sejak kelahirannya, anak manusia memang telah dibekali insting, nafsu dan berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia atau
untuk dapat menjadi dewasa. Manusia memiliki potensi untuk beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, namun di samping itu karena
hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia
memiliki potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa),
potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Tetapi bagi
anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi itu belum mencukupi untuk dapat
langsung menjalani dan mengahadapi kehidupan serta untuk dapat mengatasi semua
masalah dan tantangan dalam hidupnya. Contoh: dalam rangka makan, manusia tidak
cukup mengandalkan insting dan nafsu saja. Sebab, makan bagi manusia bukan
hanya menyangkut lapar dan pemenuhan kebutuhan sehubungan dengan rasa lapar.
Makan bagi manusia menyangkut berbagai hal yang cukup kompleks. Pada awalnya,
disadari maupun tidak disadari, ia harus belajar memakan jenis makanan
tertentu, mulai dari makanan yang lembek hingga ia mampu memakan berbagai jenis
makanan yang padat. Selang beberapa tahun kemudian, setelah menyadari
“diri/aku”-nya dan mengenal berbagai jenis makanan, makan bagi manusia menjadi
berkaitan dengan keinginan, dan pilihan tentang jenis makanan yang harus
didapatkan sesuai dengan kesukaannya. Ia tidak bisa memakan sembarangan jenis makanan,
makan bersangkutan dengan pengetahuan (ilmu) gizi dan kesehatan, menyangkut
masalah halal dan haram, maslaah bagaimana cara mendapatkan bahan makanan,
menyangkut masalah bagaimana mengolah bahan makanan, masalah tata cara makan,
dsb. Bahkan, bagi manusia, mencari makanan pun menyangkut masalah pertanian,
ekonomi, adat kebiasaan, agama dan berbagai dimensi kehidupan lainnya, yang
mengharuskan ia menguasai kompetensi tertentu untuk semua itu. Hanya untuk
dapat makan saja (makan secara manusiawi), manusia tidak cukup mengandalkan
insting dan nafsunya, melainkan menuntut perwujudan berbagai potensi yang
dibawanya sejak ia dilahirkan. Demikian pula untuk hal-hal lainnya, untuk mampu
memecahkan berbagai masalah dan tantangan dalam hidup yang harus diselesaikannya.
Berbagai potensi yang dimiliki manusia tidak otomatis
mewujud dalam perkembangan anak manusia setelah ia dilahirkan. Untuk dapat
mewujudkan semua potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan kepada
orang dewasa. Sebelum mencapai kedewasaannya, anak manusia memerlukan bantuan
orang dewasa dalam rentang waktu yang cukup lama.
2.4.Manusia
Belum Selesai Mengadakan Dirinya Sendiri
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian terdahulu,
eksistensi manusia bersifat terbuka, artinya bahwa manusia adalah makhluk yang
belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Dengan demikian, manusia berada dalam
perjalanan hidup, dalam perkembangan dan mengembangkan diri. Ia adalah manusia
tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sendiri.
Bersamaan dengan hal di atas, dalam eksistensinya manusia
mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal, yaitu manusia dewasa. Sosok
manusia ideal atau manusia dewasa merupakan gambaran manusia yang
dicita-citakan atau yang seharusnya. Sebab itu, sosok manusia ideal atau kedewasaan
tersebut belum terwujudkan, melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan.
Keharusan manusia adalah menjadi manusia atau mencapai
kedewasaan, tetapi secara factual perkembangan manusia bersifat terbuka atau
serba mungkin, mungkin menjadi manusia, mungkin kurang menjadi manusia bahkan
mungkin tidak menjadi manusia. Bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua
potensi yang dibawanya sejak lahir belum mencukupi untuk dapat mengatasi semua
masalah dan tantangan dalam hidupnya. Berbagai kompetensi/kemampuan sebagai
perwujudan berbagai potensinya yang seharusnya dimiliki manusia tidak dibawa
sejak ke-lahirannya, melainkan harus diperoleh setelah kelahirannya dalam
perkembangan menuju kedewasaan.
Di satu pihak, berbagai kompetensi/kemampuan tersebut
diperoleh manusia melalui upaya bantuan dari pihak lain. Mungkin dalam bentuk
pengasuhan, pengajaran, latihan, bimbingan, dan berbagai bentuk kegiatan
lainnya yang dapat dirangkum dalam istilah pendidikan.
Di pihak lain, manusia yang bersangkutan juga harus belajar atau harus mendidik diri. Mengapa manusia harus
mendidik diri? Sebab, dalam bereksistensi yang harus mengadakan/menjadikan diri
itu hakikatnya adalah manusia itu sendiri. Sebaik dan sekuat apa pun upaya yang
diberikan pihak lain (pendidik) kepada seseorang (anak didik) untuk membantunya
menjadi manusia atau untuk mencapai kedewasaan, tetapi apabila seseorang
tersebut (anak didik) tidak mau mendidik diri, maka upaya bantuan tersebut
tidak akan memberikan kontribusi bagi kemungkinan seseorang tadi untuk menjadi
manusia atau menjadi manusia dewasa. Lebih dari itu, jika sejak kelahirannya
perkembangan dan pengembangan kehidupan manusia diserahkan kepada dirinya
masing-masing tanpa dididik oleh orang lain dan tanpa upaya mendidik diri dari
pihak manusia yang bersangkutan, kemungkinannya ia hanya akan hidup berdasarkan
dorongan instingnya saja. Berkenaan dengan perlunya manusia mendidik diri,
simaklah wejangan Plotinos (meninggal tahun 270 M) berikut ini: “Menyendirilah
dan lihat. Dan jika kamu temui dirimu belum lagi elok, bertindaklah bagaikan
pencipta sebuah patung yang akan diperindah; ia memangkas di sini dan menorah
di sana. Memperingan garis ini dan memurnikan garis lainnya lagi, hingga sebuah
patung yang molek tampil atas karyanya. Lakukanlah pula seperti itu;….
Janganlah sekali-kali berhenti memahat patungmu….” (E.F. Schumacher, 1980:77).
2.5.Manusia
adalah Animal Educandum
Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan
untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk
menjadi manusia ia perlu dididik dan mendidik diri. “Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”, demikian
kesimpulan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959).
Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Lavengeld yang memberikan
identitas kepada manusia dengan sebutan “Animal
Educandum” atau hewan yang perlu dididik dan mendidik diri (M.J. Lavengeld,
1980).
2.6.Empat
Prinsip Antropologis: Manusia Perlu Dididik
Kita dapat mengidentifikasikan empat prinsip antropologis
yang menjadi alasan bahwa manusia dapat dididik. Keempat prinsip yang dimaksud
adalah:
1. Manusia belum selesai mengadakan
dirinya sendiri.
2. Keharusan manusia untuk menjadi
manusia dewasa.
3. Perkembangan Manusia bersifat
terbuka.
4. Manusia sebagai makhluk yang lahir
tak berdaya, memiliki ketergantungan dan memerlukan bantuan.
2.7.Manusia
adalah Animal Educabile
M.J. Langeveld (1980) memberikan identitas kepada manusia
sebagai “Animal Educabile” atau hewan
yang dapat dididik. Dengan mengacu kepada asumsi bahwa manusia akan dapat
dididik diharapkan kita menjadi sabar dan tabah dalam melaksankan pendidikan.
Andaikan saja kita telah melaksanakan upaya pendidikan, sementara peserta didik
belum dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, kita seyogyanya tetap
sabar dan tabah untuk tetap mendidiknya. Dalam konteks ini, kita justru perlu
melakukan introspeksi diri, barangkali saja terjadi kesalahan-kesalahan yang
kita lakukan dalam upaya pendidikan tersebut, sehingga peserta didik terhambat
dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
2.8.Lima
Prinsip Antropologis: Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia ideal
atau manusia dewasa. Sosok manusia ideal tersebut antara lain adalah manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral/berakhlak mulia, cerdas,
berperasaan, berkemauan, mampu berkarya, dst. Telah kita pahami melalui uraian
di muka bahwa manusia dibekali Tuhan dengan berbagai potensi, yaitu: potensi
untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk mampu berbuat baik,
potensi cipta, rasa, karsa dan potensi karya. Terdapat hubungan yang
sesuai (matching) antara
berbagai potensi yang dimiliki manusia untuk dapat menjadi manusia (dewasa)
dengan keharusan manusia untuk mencapai kedewasaan. Kita dapat memprediksi apa
yang akan terjadi apabila satu pihak manusia dituntut harus menjadi manusia
dewasa, sementara ia tidak memiliki potensi untuk itu. Sebab itu dapat kita
pahami, manausia akan dapat dididik untuk menjadi dewasa karena ia memiliki
potensi untuk menjadi dewasa.
N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakn bahwa manusia mempunyai
atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah
berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun
spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horizontal (ke arah sesama dan dunia)
maupun arah transcendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun dinamika itu adalah
untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan sesama, dunia dan Tuhan.
Ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan diupayakan dalam rangka membantu atau
membimbing manusia (anak didik) agar menjadi manusia ideal (manusia dewasa). Di
pihak lain, manusia (anak didik) itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi
manusia ideal (manusia ideal). Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik
maupun spiritualanya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih
dari apa yang telah ada atau yang telah dicapainya. Ia berupaya untuk
mengaktualisasikan diri agar menjadi manusia ideal, baik dalam rangka
interaktif/komunikasinya secara horizontal maupun vertical. Karena itu dinamika
manusia mengimplikasikan bahwa ia akan dapat dididik.
Praktek pendidikan merupakan upaya pendidik dalam membimbing
manusia (anak didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya
sendiri (menjadi seseorang/pribadi) atau menjadi orang dewasa sesuai dengan
pilihan/cita-citanya sendiri. Di pihak lain, manusia (peserta didik) adalah
individu yang memiliki kedirisendirian (subyektivitas), bebas dan aktif
berupaya untuk menjadi dirinya sendiri atau untuk menjadi manusia dewasa sesuai
dengan pilihan/cita-citanya. Sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa
manusia akan dapat dididik.
Pendidikan hakikatnya berlangsung dalam pergaulan
(interaksi/komunikasi) antar sesama manusia (antara pendidik dengan anak
didik). Melalui pergaulan tersebut pengaruh pendidikan disampaikan oleh
pendidik dan diterima oleh peserta didik. Manusia (anak didik) hakikatnya
adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupan
bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik di
mana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab
itu, maka sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
Pendidikan bersifat normatif,
artinya dilaksanakan berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu.
Pendidikan bertujuan agar manusia berakhlak mulia; agar manusia berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari agama, masyarakat
dan budayanya. Di pihak lain, manusia berdimensi moralitas, manusia mampu
membedakan yang baik dan yang jahat. Sebab itu, dimensi moralitas
mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik. Mengacu kepada prinsip
tersebut maka di sini dapat dinyatakan bahwa tidak ada pendidikan untuk hewan.
Hewan tidak akan dapat dididik karena bukan makhluk bermoral atau tidak
memiliki dimensi moralitas. Hewan tidak dapat membedakan antara baik dan jahat.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditemukan lima prinsip
antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu:
1. Prinsip potensialitas.
2. Prinsip dinamika.
3. Prinsip individualitas.
4. Prinsip sosialitas.
5. Prinsip moralitas.
2.9.Batas-batas
Pendidikan
Masalah Batas Pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh M.I.
Soelaeman (1988:42-51) mengenai batas-batas pendidikan ini terdapat 2
permasalahan, yaitu: (1) batas pendidikan, dan (2) batas kemungkinan untuk
mendapatkan pendidikan atau untuk dididik. Sebelum membahasnya lebih lanjut, perlu
disepakati dulu tentang makna pendidikan. Dalam konteks ini pendidikan adalah
upaya sengaja yang dilakukan orang dewasa untuk membantu atau membimbing anak
atau orang yang belum dewasa agar mencapai kedewasaannya. Inilah acuan kita
untuk membahas batas-batas pendidikan.
Jenis Batas Pendidikan. Batas pendidikan dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu: (1) batas bawah pendidikan, (2) batas atas pendidikan,
dan (3) batas pendidikan berkenaan dengan pribadi anak didik. Adapun batas
kemungkinan dididik berkenaan dengan konsep atau teori mengenai bakat (potensi)
dan perkembangannya.
Batas Bawah dan Batas Atas
Pendidikan. Batas
bawah pendidikan atau saat pendidikan dapat mulai berlangsung adalah ketika
anak didik mengenal kewibawaan yaitu kurang lebih sekitar 3,5 tahun. Adapun
batas atas pendidikan atau kapan pendidikan berakhir, yaitu ketika tujuan
pendidikan telah tercapai atau ketika anak mencapai kedewasaan. Batas
pendidikan sehubungan dengan tujuan, tercapainya manakala tujuannya telah
digariskan semula telah tercapai. Batas dalam arti ini menjadi penting
artinya apabila kita bersangkutan dengan berbagai tujuan pendidikan. Misalnya
dalam usaha mencapai tujuan sementara-agar anak pandai makan dengan menggunakan
sendok dan garpu-makna batas pendidikan tersebut dicapai manakala anak telah
mampu makan dengan menggunakan sendok dan garpu. Dan contoh-contoh lainnya.
Batas pendidikan berhubungan dengan
pribadi anak didik. Praktek
pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
anak didik. Pendidik dalam melaksanakan peranan-peranannya hendaknya tetap
menghormati pribadi anak didik. Jangan sampai pendidik mengorbankan pribadi
anak didik. Contoh: Pendidikan yang keras dimana pendidik menggunakan hukuman
badan yang keras dapat menjurus kepada pengabaian pribadi anak didik, sehingga
anak didik nyaris diperlakukan sebagai hewan. Sebaliknya, pendidikan yang
memperlakukan dan bertindak terhadap anak didiknya seperti terhadap orang
dewasa, atas dasar pandangan bahwa anak itu adalah orang dewasa dalam bentuk
mini, sudah dekat pada batas-batas pendidikan dalam artian ini. Semua itu jelas
berkaitan dengan apa yang disebut keanakan (kewajaran anak). Lavengeld
(1980:34) pernah mengingatkan bahwa “pergaulan
yang tidak menghormati keanakan itu menunjukkan kekurangan dan
ketidaksempurnaan pedagogis”.
Batas kemungkinan dididik. Diyakini bahwa manusia dilahirkan
membawa berbagai potensi atau bakat. Pendidikan tidak berurusan dengan
pengadaan potensi atau bakat. Batas pendidikan hanya berurusan dengan potensi
atau bakat mana yang harus dikembangkan, bagaimana cara mengembangkannya, dan
sejauhmana potensi atau bakat yang ada pada diri anak didik telah dikembangkan.
Selain itu, batas kemungkinan dididik berhubungan dengan jenis kelamin anak
didik. Anak lahir dengan kelamin laki-laki atau perempuan bukan merupakan
urusan pendidikan, urusan pendidikan adalah bagaimana mengembangkan anak
laki-laki menjadi laki-laki dan anak perempuan menjadi perempuan.
Batas pendidikan bersifat
individual. Mengingat
jenis kelamin dan bakat setiap anak berbeda-beda, implikasinya bahwa dalam hal
ini batas pendidikan bagi setiap anak kemungkinannya berbeda-beda pula. Batas
pendidikan tidak dapat disamaratakan untuk anak yang satu dengan anak yang
lainnya.
2.10.
Aliran Teori Perkembangan Anak Didik
Berkenaan dengan masalah batas-batas pendidikan, yaitu yang
berhubungan dengan perkembangan anak didik, selanjutnya muncul pertanyaan:
manakah yang paling menentukan dalam perkembangan anak didik, pembawaan/dasar
(nature) atau pendidikan/ajar (nurture)? Terdapat tiga aliran pokok yang
menjawab pertanyaan di atas, yaitu:
1. Aliran
Nativisme
Tokoh aliran Nativisme antara lain
Schoupenhauer. Penganut teori ini berasumsi bahwa setiap individu (anak)
dilahirkan ke dunia dengan membawa bakat atau potensi yang merupakan factor
turunan (heredity) yang berasal dari orang tuanya. Bakat/potensi ini diyakini
menjadi factor penentu perkembangan individu selanjutnya setelah ia dilahirkan.
Implikasi teori Nativisme terhadap
pendidikan yaitu kurang memberikan kemungkinan bagi pendidik dalam upaya
mengubah kepribadian anak didik. Berdasarkan hal itu peranan pendidikan atau
sekolah sedikit sekali dapat dipertimbangkan untuk dapat mengubah perkembangan
anak didik. Teori ini dikenal sebagai teori yang pesimistik terhadap peranan
ajar/pendidikan (nurture).
2. Aliran
Empirisme
Tokoh aliran Empirisme antara lain
John Locke dan J.B. Watson. Mereka menolak asumsi Nativisme, mereka berasumsi
bahwa setiap anak dilahirka ke dunia dalam keadaan bersih ibarat papan tulis
yang belum ditulisi (as a blank slate atau tabula rasa). Setelah kelahirannya,
faktor penentu perkembangan individu ditentukan oleh factor lingkungan atau
pengalamannya. Perkembangan individu tergantung kepada hasil belajarnya dan
factor penentu utama dalam belajar sepenuhnya berasal dari lingkungan (YeLon
dan Weinstein, 1977). Dengan demikian, mereka tidak percaya kepada faktor
bakat/potensi yang merupakan turunan atau hereditas sebagai penentu
perkembangan individu (anak didik).
Implikasi teori Empirisme terhadap pendidikan yakni
memberikan kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik (pendidikan/ajar/nurture) untuk
dapat membentuk kepribadian anak
didik; tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di pihak pendidik. Hal
ini sebagaimana dikemukakan J.B. Watson:
“Give me a dozen healthy infants, well-forned, and my own
specified world to bring them up in I’ll guarantee to take any one at random
and train him to become any type specialist. I might select-doctor, lawyer,
artist, mechantchief, and yes even beggarman and thief, regardless of his
talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his
ancestors” (Edwars. J. Power,1982).
3. Aliran
Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi antara
William Stern. Penganut aliran Konvergensi berasumsi bahwa perkembangan
individu ditentukan baik oleh factor bakat/potensi yang merupakan turunan
(heredity) maupun oleh factor lingkungan/pengalaman. Penelitian yang dilakukan
beberapa ahli menunjukkan bahwa perkembangan individu dipengaruhi oleh
interaksi dengan cara yang kompleks dari factor hereditas dan factor lingkungan
(Yelon and Weindtein,1977).
Implikasi teori Konvergensi
terhadap pendidikan yakni bahwa perkembangan anak didik mendapat pengaruh baik
dari bakat bawaan (dasar) maupun dari lingkungan, termasuk dari pendidik
(ajar/nurture). Kedua hal itu (dasar dan ajar) bersama-sama memberikan
kontribusinya terhadap perkembangan anak didik. Kiranya teori konvergensi
inilah yang cocok kita adopsi dalam rangka praktek pendidikan.
BAB
III
KESIMPULAN
Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan
pendidikan, baik pendidikan yang formal, informal maupun nonformal. Pendidikan
merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan
manusia dengan makhluk hidup lainnya. "Hewan" juga belajar, tetapi
lebih ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia belajar berarti merupakan
rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.
Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini
sudah dewasa dan berkeluarga, mereka akan mendidik anak-anaknya. Begitu juga di
sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan
dosen.
SUMBER
riwan_master@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar